Kisah Inspiratif; Pacaran No, Nikah Yes !
Seorang
pemuda Kufah yang terkenal zuhud pergi menjenguk kawannya yang sakit. Di tengah
perjalanan, ia bertemu dengan Afirah si kembang desa. Ia pun jatuh cinta padanya,
begitu juga Afirah. Akhirnya, dengan niat bulat, pemuda yang biasa dipanggil
Zahid itu mendatangi orang tua Afirah untuk melamarnya. Orang tua Afirah sangat
senang, karena Zahid terkenal akan ketakwaannya. Namun sayang, ayah Afirah
telah menjodohkan Afirah dengan sepupunya. Demi mendengar hal tersebut,
betapa terkejutnya Zahid. Afirah yang
turut mendengarnya pun tak kalah terkejut. Zahid pun pulang dengan lesu. Betapa
hancur hatinya mendapati pujaan hati tak dapat diraih. Ia pun jatuh sakit.
Mendengar
hal itu, Afirah mengirim surat kepada Zahid. Katanya, “Kekasih hatiku,
Zahid, bila kau mau, aku akan menunjukkanmu jalan menuju kamarku, dan kita
bercinta di sini. Atau kau bisa menunjukkan jalan kepadaku agar aku bisa
menemuimu, dan kita becinta di sana. Afirah.”
Zahid
menangis ketika membaca surat tersebut. Ia pun membalas, “Assalamu ‘alaik.
Mengenai ajakanmu, maaf aku tak bisa menerimanya. Aku tak ingin cintaku
mengantarkanku pada murka Allah swt. Karena cinta yang mengantarkan pada murka
Allah I akan menghalangi kita untuk bisa bersama di Surga.
Zahid.” Afirah pun menangis dan bertaubat
kepada Allah swt setelah membaca surat dari Zahid.
Dari
kisah yang diceritakan Habiburrahman el-Shirazi dalam karyanya, Di Atas Sajadah
Cinta ini, kira-kira masih adakah pasangan seperti Zahid dan Afirah di zaman
sekarang? Pasangan yang menjaga cintanya agar tetap suci, tak ternodai oleh
nafsu duniawi. Masih adakah yang mengatakan “aku takut kepada Allah swt”
ketika diajak untuk bemaksiat oleh orang yang dicintainya?
Betapa
jarang kita jumpai orang-orang yang berusaha menjaga cintanya tetap suci;
orang-orang yang menjaga agar cintanya tetap berada di jalan yang lurus; mereka
yang seperti Nabi Yusuf as ketika diajak Zulaikha untuk bermadu kasih dalam
murka tuhannya, sebagaimana diabadikan dalam al-Quran:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ
فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ
مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
(23) [يوسف: 23
[
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf as tinggal di rumahnya menggoda Yusuf as untuk menundukkan
dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke
sini.” Yusuf as berkata, "Aku berlindung kepada Allah as,
sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik". Sesungguhnya
orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.”
Padahal,
cinta adalah anugerah ilahi. Cinta itu suci. Namun orang-orang zaman sekarang
banyak yang menjadikannya sebagai alasan untuk bermaksiat. Wanita rela melepas
keperawanannya untuk lelaki yang bukan suaminya dengan alasan nafsu yang
berkedok cinta. Mereka menjadikan cinta sebagai kambing hitam atas semua
dosa-dosa mereka.
Lantas,
apa yang harus kita lakukan ketika jatuh cinta tetapi belum siap untuk menapaki
jenjang pernikahan? Sebagai orang yang beriman, yang seharusnya kita lakukan
adalah tidak mengungkapkan cinta tersebut pada siapa pun, apa lagi kepada dia
yang kita cinta. Karena dengan cara demikian, godaan untuk melakukan hal-hal
yang diharamkan agama seperti pacaran, berkhalwat, bahkan berzina memiliki
potensi yang tidak terlalu tinggi. Wal ’iyâzhu billâh.
Dan
lagi, bila kita mau berpikir rasional, tentu kita tidak mau menjalani hubungan
yang dapat dipastikan akan berakhir yang kita sebut dengan pacaran. Coba
pikirkan! Bila kita berpacaran, kita akan menghadapi 2 kemungkinan. Yaitu
berpisah atau lanjut ke jenjang pernikahan.
Kemungkinan
pertama, kita akan berpisah dengan kekasih (baca: pacar). Perpisahan ini bisa
dengan putusnya hubungan pacaran, atau salah satu meninggal. Dengan cara yang
mana pun, hubungan tersebut pasti akan berakhir.
Kedua,
berlanjut ke jenjang pernikahan. Dengan berlanjut ke jenjang pernikahan,
hubungan ‘pacaran’ akan berakhir. Karena menikah berbeda dengan pacaran. Ketika
kita menikah, kita tak bisa dibilang berpacaran dengan istri kita. Dan lagi,
bila memang telah siap untuk menikah, mengapa perlu repot-repot menjalani
hubungan tak jelas bernama ‘pacaran’ yang buang-buang waktu, energi, dan uang?
Maka
dari itu, Bila kita telah merasa siap untuk menapaki jenjang pernikahan,
langkah yang baik adalah dengan mendatangi orang tua sang wanita dan melamarnya
untuk dijadikan istri. Tentunya yang demikian ini lebih jantan dan bertanggung
jawab dibandingkan dengan mereka yang memilih untuk menyatakan cintanya dan
meminta sang kekasih untuk menjadi pacarnya. Karena dengan melamar, berarti
kita siap untuk memikul tanggung jawab yang berat sebagai seorang suami.
Sedangkan mereka yang memilih pacaran tidak memiliki komitmen dan tanggung
jawab. Bahkan, bisa jadi yang ada di pikiran mereka hanya nafsu belaka. Terlebih lagi, ikatan pernikahan bukanlah ikatan
sehari-dua hari. Namun ikatan yang akan terus mengikat bahkan sampai akhirat
nanti.
Semoga
dengan menjaga hati dan kehormatan, kita akan termasuk dari golongan tujuh
orang yang akan mendapat naungan Allah di hari kiamat kelak. Sebagaimana
disabdakan oleh Nabi, “Tujuh orang akan dinaungi oleh Allah di hari tak ada
naungan selain naungan-Nya (hari kiamat). Yaitu, pemimpin yang adil, pemuda
yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, lelaki yang hatinya tertaut pada
masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, lelaki yang diajak
bermaksiat oleh perempuan berpengaruh nan cantik namun ia berkata “Aku takut
kepada Allah” . . .” {HR. Bukhari Muslim}
Ubaidillah
al-Akhro/Aktivis Kajian Tafsir.
Tidak ada komentar