Harmoni dan Menejemen Kepemimpinan
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)} [النساء: 59]
“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu! Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya) jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat! Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
{QS. An-Nisa’ (4): 59)
Ayat ini merupakan ayat yang memerintahkan kita untuk
taat kepada perintah Allah swt, Rasulullah saw dan Ulil-amri. Di ayat sebelumnya, Allah
memerintahkan kita untuk berlaku adil ketika memberi keputusan hukum. Maka dari
itu, di ayat ini kita diperintahkan untuk taat kepada para hakim, dan pemimpin
yang memberikan keputusan hukum. Karena dengan demikian, keadilan dapat
ditegakkan.[1]
Sababun-Nuzul
Diceritakan, Nabi saw mengutus sariyah yang dipimpin oleh Khalid bin
Walid. Di antara pasukan yang ia pimpin terdapat Ammar bin Yasir. Mereka pun
berangkat menuju tenpat yang telah diperintahkan. Mereka pun berkemah di dekat
perkampungan musuh.
Mendengar hal itu, orang-orang
kampung tersebut kabur. Hanya seorang yang bertahan. Ia pun menyuruh
keluarganya untuk berbenah. Ia bermaksud mendatangi markas pasukan Khalid.
Pria tersebut mengendap-endap di
malam hari dan mendatangi markas pasukan Khalid. Ia bermaksud menemui Ammar bin
Yasir. Ketika bertemu, ia berkata, “Wahai Ammar, Aku telah masuk Islam dan
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah swt dan Muhammad utusan-Nya. Sedangkan kaumku kabur
ketika mendengar kedatangan kalian. Aku memilih bertahan. Apakah keislamanku
ini dapat menolongku besok? Jika tidak, aku akan kabur.” Ammar menjawab, “Ya,
keislamanmu akan menolongmu esok hari. Menetaplah!” Pria itu pun menetap.
Ketika Khalid menyerang perkampungan tersebut keesokan
harinya, ia tidak mendapati seorang pun selain pria yang telah masuk Islam
tadi. Khalid pun menangkap pria tersebut dan mengambil hartanya.
Baca Juga: Kesalahpahaman Aktivis Gender, Sebuah Analisis
Baca Juga: Kesalahpahaman Aktivis Gender, Sebuah Analisis
Ketika berita tersebut sampai kepada Ammar, ia bergegas
mendatangi Khalid dan bertanya, “Lepaskan orang itu! Ia telah masuk Islam dan
berada di bawah perlindunganku.” “Dan mengapa engkau membantahku?” balas Khalid.
Mereka pun bersitegang.Akhirnya mereka melapor kepada Rasulullah saw. Rasulullah
saw memperkenankan perlindungan Ammar tapi melarangnya untuk membantah pimpinan
untuk yang kedua kalinya.
Khalid dan Ammar kembali
bersitegang di hadapan Rasulullah saw. “Apakah engkau akan membiarkan mantan
budak ini menghinaku?” Kata Khalid kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menjawab,
“Khalid, jangan menghina Ammar! Karena barang siapa menghina Ammar, Allah swt
akan menghinanya. Siapa yang membuatnya marah, Allah swt akan murka kepadanya.
Dan siapa yang melaknatnya, Allah swt akan melaknatnya.” Ammar pun marah dan
langsung berdiri. Khalid ikut berdiri dan menarik baju Ammar dan meminta maaf
kepadanya. Dan Ammar memaafkannya. Allah swt pun menurukan ayat di atas.[2]
Tafsiran Ayat
Fokus kita kali ini adalah pada
lafal ulil-amr. Ulama berbeda pendpat dalam menafsiri lafal tersebut.
Ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ulil-amr di sini adalah
orang yang mengurusi urusan umat atau suatu kaum, dalam artian pemimpin. Karena ia adalah orang yang dipasrahi
umat untuk mengurusi urusan mereka. Oleh karena itu disebut dengan ulul-amr.[3]
Sebagaimana disabdakan Nabi saw yang
artinya, “Barangsiapa taat kepadaku, ia taat kepada Allah swt.
Barangsiapa durhaka padaku, ia telah durhaka kepada Allah saw.
Barangsiapa taat kepada kepada pemimpin pasukanku, ia taat kepadaku. Dan
barangsiapa mendurhakainya, ia telah durhaka kepadaku.”[4]
Menurut Jabir bin Abdullah dan
Mujahid, yang dimaksud ulil-amr adalah orang-orang yang ahli al-Qur’an
dan ahli ilmu. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Imam Malik. Sedangkan menurut
adh-Dhahhak, yang dimaksud adalah fuqaha’ dan ulama.[5]
Terlepas dari perbedaan tersebut,
ulul-amr yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka selain
Rasulullah saw. Mulai dari khalifah, hakim, pemimpin pasukan, fuqaha’
dari kalangan sahabat, para imam mujtahid, dan ulama. Ulul-amr inilah
yang disebut dengan ahlul-halli wal-‘aqdi.[6]
Jadi, sesuai dengan penjelasan di atas, Allah swt
memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin kita dan juga kepada para ulama. Tentu
selama apa yang diperintahkan bukanlah maksiat kepada Allah saw.
Sebagaimana sabda Nabi r yang artinya, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat
kepada Allah saw.”[7]
Kandungan Ayat
Selain tentang taat kepada pemimpin dan ulama, ayat ini juga mengindikasikan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujah.
Buktinya, Allah swt memerintahkan kita untuk wajib taat kepada ulil-amr.
Dan siapapun yang Allah swt
mewajibkan kita untuk mengikutinya, ia harus seseorang yang terjaga dari
kesalahan. Karena seandainya ia tidak terjaga dari kesalahan dan ia melakukan
kesalahan, berarti Allah swt memerintahkan kita untuk mengikuti sesuatu yang
salah.[8]
Dan pada zaman ini, kita kesulitan bahkan mustahil untuk kita menemukan
seseorang yang terjaga dari kesalahan. Dengan demikian, kita tahu bahwa yang
dimaksud dengan al-Ma’shum yang wajib diikuti bukanlah individu ataupun
kelompok tertentu, melainkan mereka yang disebut ahlul-halli wal-‘aqdi. Dan
hal ini menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujah.[9]
Dari ayat ini, ulama juga menetapkan bahwa sumber hukum dalam syariat
Islam ada empat. Yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan qiyas. Hal
ini dikarenakan hukum-hukum dalam syariat adakalanya termaktub dengan jelas
dalam al-Qur’an dan hadits. Ini sesuai dengan firman Allah swt اَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ.
Adakalanya merupakan
kesepakatan dari ahlul-halli wal-‘aqdi dengan berlandaskan kepada
al-Qur’an dan hadits. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt وَاُولِي الْاَمْرِ مِنْكُمْ sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dan adakalanya hukum-hukum
tersebut tidak termaktub dalam al-Qur’an dan hadits, dan tidak pula disepakati
oleh ahlul-halli wal-‘aqdi. Untuk kasus yang
demikian, solusinya adalah dengan ijtihad dan qiyas. Hal ini sesuai dengan
firman Allah swt فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ.[10]
Penutup
Dari apa yang telah
dijelaskan, dapat kita simpulkan bahwa banya hal yang terkandung dalam ayat
ini. Mulai dari perintah untuk mentaati pemimpin dan ulama, hingga
sumber-sumber hukum dalam Islam.
Dan bila kita melihat
kepada ayat sebelumnya, kita bisa merasakan betapa indahnya susunan ayat-ayat
dalam al-Qur’an. Pasalnya, di ayat sebelumnya, Allah swt memerintahkan kita untuk
berlaku adil dan menjaga amanah. Dan di ayat ini, Allah swt memerintahkan kita untuk
mentaati pimpinan dan ulama agar keadilan dapat dijalankan.
Dan lagi, dua hal di atas
merupakan kaidah dalam menjaga keteraturan dalam berorganisasi, terutama
organisasi besar seperti sebuah negara. Karena ketika pemerintahnya adil dan
amanah, kemudian rakyatnya tunduk dan patuh kepada pemerintah, akan tercipta sebuah
negara maupu organisasi yang harmonis. Dan puncak dari hal ini adalah
terciptanya negara thayyibah yang maju dalam berbagai
aspek kehidupan. Wallahu a’lam.
Ubaidillah al-Akhro/Aktivis
Kajian Tafsi-Hadis
[5] Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jâmi’
li Ahkâmil-Qur’ân. Cet: Daru Alamil-Kitab, Riyadh (2003). V/249
[7] Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jâmi’
li Ahkâmil-Qur’ân. Cet: Daru Alamil-Kitab, Riyadh (2003). V/260
Tidak ada komentar