Umar bin Abdul Aziz: Pawana di Padang Sahara
Umar bin Abdil Aziz - Barangkali, kita sepakat bahwa tidak ada penguasa hari
ini yang benar-benar ideal untuk memajukan negara dan memakmurkan bangsa;
penguasa yang bisa menegakkan keadilan dan kebijaksanaan yang nyaris mustahil
ditemukan, dan mampu meramu kekuatan negara dengan nafas ulama yang
sungguh-sungguh memegang teguh dogma agama dalam roda bernegara.
Karenanya, di hari yang
penuh gerah oleh panas dan kotornya kebijakan negara yang sangat tidak bijaksana
sekali seperti hari ini, ada baiknya kita kembali menengok ke belakang layar
kehidupan umat Islam. Pada segudang sejarah usang yang menceritakan kekhalifahan
kita terdahulu. Dalam memosisikan sosok yang nyaris sempurna untuk layak digugu
dan sangat mungkin ditiru, Khalifah Umar bin Abdil Aziz bisa kita
tempatkan pada posisi pertama.
***
“Seorang lelaki
bermimpi,” kata Imran bin Abdirrahman bin Syurahbil bin Hasanah. “Sebuah suara
keras menggema memenuhi petala langit dan bumi: “Telah datang pada kalian seorang
lelaki yang lemah lembut, agamis, dan sangat tampak amal salehnya ketika shalat.”
Lanjutnya. “Siapakah dia?” tanya laki-laki itu penasaran. Orang yang ditanya
kemudian turun dan menulis sebuah abjad. Ain, mim, dan ra.”[1]
Setelah diteliti,
ternyata hari itu adalah hari kelahiran Umar bin Abdil Aziz, seorang
lelaki yang di kemudian hari sangat masyhur sebagai khalifah yang menolak semua
fasilitas negara, dan lebih memilih hidup sengsara berkekurangan dangan istri
tercinta dalam rumah sederhananya. Jika memang demikian, maka mimpi yang sangat
membekas di hati Imran bin Abdirrahman ini terjadi pada tahun 61 H.[2]
BACA JUGA:
- Penyebab Aneh Kenapa Benteng Konstantinopel Berhasil Ditaklukkan - Mengenaskan! Nasib Bapak Sekularisme Turki
Ketika kecil, Umar
bin Abdil Aziz pernah berkata kepada ibunya, Ummu Ashim Laila binti Ashim
bin Umar bin al-Khathab: “Ibu, aku ini ingin menjadi seperti kakek...” “Iya.
Kau akan seperti dia. Menjadi ulama yang warak.”[3] Kata Laila. Mereka berdua
baru pulang dari kediaman Abdullah bin Umar bin al-Khathab, paman Laila,
sekaligus kakek Umar bin Abdil Aziz.
Umar bin Abdil Aziz banyak
menghabiskan masa kecilnya dengan bercumbu bersama berbagai macam ilmu. Terbukti,
beliau hafal al-Quran sejak kecil. Selain itu, beliau juga termasuk orang yang
sangat gemar merenungi arti hakiki hidup ini. Mungkin karena itu, Umar termasuk
orang yang gampang bersedih memikirkan nasibnya di kemudian hari.
Suatu hari, Umar yang
masih sangat kecil tiba-tiba ditemukan terisak dalam kesendirian. Laila
kemudian menghampiri anak kesayangannya itu. “Kenapa engkau menangis?” tanyanya
dengan pelan.
“Aku teringat mati,
Ibu.” jawab Umar masih dalam isaknya. Laila yang semula tersenyum marayu
putranya agar berhenti menangis, tiba-tiba juga ikut menangis.[4]
Semua cerita ini
menjadi sesuatu yang mencolok, yang telah menjadikan Umar kecil sebagai sosok
yang sangat berbeda dengan pangeran lain di istana kerajaan Bani Umayyah.
Perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika Umar kecil, suatu saat pergi ke
kandang kuda milik ayahnya. Di sana, seekor kuda menendangnya hingga terluka.
Darah segar segera mengucur dari wajahnya.
Abdul Aziz, ayah Umar
yang melihat itu terkejut. Bukan karena darah merah yang membasahi wajah, tapi
karena sebuah “ramalan” yang selama ini selalu diingat oleh mereka yang
memerhatikan. Suatu waktu, ketika masih hidup, Umar bin al-Khatthab pernah “meramalkan”
salah seorang cicitnya:
“Akan ada dari keturunanku, seseorang yang terluka
wajahnya. Dia akan memenuhi dunia ini dengan keadilan.“[5] Abdul Aziz segera mengusap darah itu dengan kegembiraan
yang luar biasa.
“Jika engkau memang seorang Bani Umayyah yang terluka
wajahnya itu (seperti yang diucapkan Umar bin al-Khatthab), beruntunglah engkau.”
katanya mereka-reka kemungkinan terbaik yang akan terjadi pada Umar, putra
kecilnya. Dan, hal itu benar-benar terjadi di kemudian hari. Umar kecil cepat
tumbuh dengan pemahaman agama yang luar biasa. Saat sudah dewasa, beliau ditunjuk
untuk mengatur Makkah, Madinah, Thaif, dan daerah Hijaz yang lain[6],
ilmu dan ketakwaan yang dimiliki telah menjadi lentera yang menerangi pemerintahan.
Untuk semua kehebatan itu, Imam al-Laits pernah menyitir
ucapan Maimun bin Mahran ketika menyifati Umar dengan predikat yang luar biasa:
“Aku tak pernah menemukan ilmu (yang luar biasa) kecuali pada Umar bin Abdil
Aziz. Tidak seorang pun ulama yang mendatanginya kecuali akan menjadi
muridnya.” Selain Maimun dan Imam al-Laits di atas, Muhammad bin Ali bin Husain
juga mengagumi sosok Bani Umayyah yang satu ini. Ketika ditanya, Muhammad bin
Husain bin Ali berkata, “Dia paling baiknya keturunan Bani Umayyah, dan dia
akan dibangkitkan dalam satu kelompok.”[7]
***
Bulan Shafar tahun 99 H
menjadi saksi atas perseteruan indah antara Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik
dengan sepupunya sendiri, Umar bin Abdul Aziz. Dengan menahan sakit yang
menderanya–yang ternyata adalah jalan menuju gerbang kematian, Sulaiman meminta
Umar menjadi pengganti setelahnya.
“Aku tidak butuh semua
itu!” kata Umar tanpa ada ambisi sama-sekali. Namun demikian, Sulaiman tetap
saja memaksanya dengan berbagai macam spekulasi. Umar tetap menolaknya dengan
diam tak menanggapi.
Tanpa sepengetahuan
Umar, beberapa waktu selanjutnya Sulaiman menulis surat di atas selembar
kertas. Beliau kemudian memanggil Raja’ bin Haiwa’, seorang ulama yang menjadi
penasehatnya.
“Pegang tulisan ini.
Kumpulkan semua orang, dan beritahu mereka tentang wasiatku. Orang yang namanya
berada dalam surat itu, dialah penggantiku! Siapapun yang tidak setuju,
perangi!” Sulaiman lantas mengangkat kedua tangan dan berdoa memohon ampun pada
Allah I.[9] Sulaiman kemudian
meninggal dunia, dan wasiat yang telah dia putuskan dilaksanakan dan diterima
oleh semua orang.
Secara mengejutkan,
langkah pertama yang diambil Khalifah Umar bin Abdul Aziz pasca prosesi
pemakaman Sulaiman adalah menolak kendaran mewah negara yang biasa digunakan
oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Beliau juga tidak mau menggunakan
fasilitas-fasilitas lain seperti menempati istana negara.[10]
Dalam menjalankan
pemerintahan, Umar memadukan kekuasaan yang dimiliki dengan ketakwaan kepada
Allah I. Sebuah kombinasi yang sangat sulit ditemukan dari
khalifah Umayyah sebelumnya. Bahkan, Fathimah binti Abdul Malik menyebutkan,
selama menjadi khalifah, suaminya itu tak pernah mandi junub. Artinya, selama
menjabat kepemimpinan umat Islam, Umar tak pernah –jika tidak mau dikatakan
tidak sama sekali– memanjakan keinginannya.
“Siang hari ia gunakan
untuk rakyat dan memberantas kezaliman. Malamnya ia gunakan untuk beribadah
kepada Allah I.”[11]
Selain itu, sifat yang
sangat menonjol dari Khalifah Umar –selain alim dan dekat dengan orang alim–
adalah keadilan yang nyaris sempurna dan merata. Untuk hal ini, Imam Malik bin
Dinar berkata: “Ketika Umar menjadi khalifah, pengembala kambing menyebutkan
bahwa beginilah jadinya jika yang meminpin pemerintahan orang alim: kawanan
domba menjadi begitu akur dengan serigala.” Ketika Khalifah Umar meninggal dunia,
gembala itu langsung tahu karena serigala itu tiba-tiba memangsa dombanya.”[12]
Umar meninggal dunia 5
hari terakhir dari Bulan Rajab tahun 101 H ketika berumur 93 tahun. Khalid bin
ar-Rabi’i berkata: “Aku menemukan keterangan dalam Kitab Taurat: langit dan
bumi berduka selama 40 hari ketika Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia.”[13]
[6] Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Makkah, Madinah, Thaif dan sekitarnya pada
tahun pada masa Khlalifah Abdul Malik, pamannya, dan al-Walid bin Abdul Malik
sepupunya sendiri. Lihat, Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah XII/677
versi MS.
Tidak ada komentar