Kesalahpahaman Aktivis Gender, Sebuah Analisis
Gerakan feminisme atau gender merupakan
pandangan hidup yang muncul dari kondisi sosial masyarakat Barat. Inti dari
gerakan ini adalah untuk merubah mindset masyarakat Timur maupun Barat
bahwa perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan ditentukan oleh kondisi sosial
budaya.[1]
Secara garis besar, gerakan ini
adalah kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan di
masyarakat, tempat kerja dan keluarga serta tindakan sadar oleh laki-laki
maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut.[2] Namun, tindakan untuk
mengubah keadaan ini terkadang melampaui batas.
Misal,
kalangan feminis berpandangan bahwa pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan tidaklah adil. Pasalnya,
laki-laki mendapat bagian dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Juga
dalam masalah persaksian, dimana dua orang wanita disandingkan dengan seorang
laki-laki. Dan banyak lagi hukum-hukum yang mereka nilai diskriminatif dan
perlu untuk direvisi. Mereka menyatakan bahwa penafsiran teks tradisional yang
memposisikan perempuan dalam ketidaksetaraan perlu dicurigai, untuk selanjutnya
dibongkar.[3]
Dengan corak pemikiran seperti di atas,
timbullah ijtihad hukum sesuka hati yang tak merujuk kepada ulama mana pun di
masa lalu dan tak pernah didengar sebelumnya. Contoh produk hukum ijtihad ini
di antaranya adalah haramnya poligami; masa iddah bukan hanya milik kaum
hawa melainkan juga milik laki-laki; talak bukan hanya dari pihak laki-laki,
tetapi boleh dilakukan juga oleh perempuan; bagian waris anak laki-laki dan
wanita sama; dan masih banyak lagi.[4]
Maka dari itu, kami
akan menanggapi hal ini dalam kasus yang bersinggungan dengan al-Quran. Namun,
karena terbatasnya space, kami hanya akan membahas dua saja yang menurut
kami sangat perlu untuk dibahas. Yaitu mengenai
warisan dan persaksian.
Pertama,
mari kita bahas mengenai warisan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, aturan
pembagian warisan kepada laki-laki dua kali lebih banyak dari perempuan.
Ketentuan ini oleh aktivis gender dinilai diskriminatif. Menurut mereka,
perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Pandangan ini
sangatlah dangkal. Bila kita mau berpikir logis, adil bukan berarti harus
sama rata. Laki-laki mendapat bagian lebih banyak karena laki-laki memiliki
tanggungan lebih banyak pula. Apa yang menjadi milik laki-laki, juga menjadi milik istri dan
anaknya. Beda halnya dengan perempuan, apa yang mereka dapatkan sepenuhnya
menjadi milik mereka.[5] Bila
diibaratkan, kasus ini sama dengan ketika kita memberi anak kita yang duduk di
bangku SMA uang saku dua puluh ribu rupiah dan yang duduk di bangku SD lima
ribu rupiah.
Apakah yang demikain dikatakan tidak adil? Tentu tidak. Dapat dipastikan
kebutuhan murid SD dan SMA sangat berbeda.
Dan lagi, tidak dalam semua kasus perempuan
mendapat bagian lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Dalam kasus kalâlah
misalnya, ketika seseorang meninggal dalam keadaan tidak memiliki anak dan
orang tuanya telah tiada sedangkan ia memiliki saudara laki-laki dan perempuan,
keduanya mendapat bagian yang sama, yaitu seperenam.[6]
Bila kita mau menengok
sejarah, aturan yang telah ditetapkan oleh Islam tidaklah mendiskriminasi
perempuan, malah memuliakannya. Sejarah mencatat orang Arab jahiliyah tidak
memberi perempuan sedikit pun harta warisan ketika ada sanak saudara atau orang
tuanya meninggal. Ketika Islam datang, Allah I
menghapus adat tersebut dan memerintahkan untuk berbuat adil kepada perempuan
dengan memberinya harta warisan dengan ketentuan separuh dari bagian laki-laki. [7]
Kedua, mengenai persaksian dua
orang wanita yang disetarakan dengan persaksian seorang laki-laki sebagaimana
dijelaskan dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 282. Ketentuan ini bila dilihat sepintas memang seakan
mendiskriminasi perempuan. Padahal, jelas sekali bahwa aturan ini tidak
berkaitan dengan unsur kemanusian, kehormatan, maupun keahlian.
Perempuan
tataplah dianggap manusia, terhormat dan memiliki keahlian sebagaimana
laki-laki. Persyaratan dua orang wanita beserta seorang lelaki tidak
dikarenakan unsur kemuliaan, keahlian, ataupun kehormatan perempuan.
Singkatnya, Islam mengakui peran wanita dalam
kehidupan bermasyarakat.
Meski demikian, peran wanita sebagian besar dihabiskan
di dalam rumah untuk mengatur rumah tangga sebagaimana dalam firman Allah swt
dalam surah al-Ahzâb ayat 33. Karenya, jarang sekali kita jumpai seorang wanita
menjadi saksi dalam kasus yang berkenaan dengan harta.
Lebih dari itu, banyak sekali hal-hal yang
memerlukan perhatian lebih, kemungkinan akan terjadinya lupa secara otomatis
juga akan meningkat dan hal ini bukan berarti menyatakan bahwa daya ingat
perempuan lemah. Maka dari itu, syariat menetapkan ketentuan dua orang saksi
perempuan bersama seorang saksi laki-laki.[8]
Dan sekali lagi, ayat ini justru mengangkat
derajat kaum hawa. Pasalnya, di masa Arab jahiliah maupun di belahan dunia yang
lain, mereka tidak memiliki andil apa pun dalam kehidupan sosial. Perempuan di
masa lalu tidak di beri hak apa pun untuk berkiprah.[9] Bahkan,
pada tahun 1567 M parlemen Skotlandia menetapkan perempuan tidak boleh
diberikan kekuasaan apa pun.[10]
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan
bahwa tudingan mereka bahwa syariat Islam diskriminatif tidaklah dapat
dibenarkan. Apalagi, bila mereka sampai menyatakan bahwa al-Quran perlu
ditafsiri ulang.
Sampai kapan pun, al-Quran beserta tafsir dari
ulama-ulama salaf akan selalu relevan. aktivis gender menyatakan tidak relevan
karena mereka telah terbawa oleh arus hegemoni Barat yang terlampau bebas.
Mereka menyatakan bahwa kemajuan akan diraih bila laki-laki dan perempuan
memiliki porsi yang sama dalam segala lini kehidupan. Padahal, data statistik
menunjukkan bahwa negara-negara maju tidak sepenuhnya menerapkan equality
(persamaan) antara laki-laki dan perempuan. Terbukti, persentasi anggota
parlemen perempuan di Amerika dan Jepang hanya berkisar di antara 11-16%.
Bandingkan dengan negara-negara terbelakang seperti Ruwanda yang mencapai 56,3
% dan Angola 38,6 %.[11]
Jadi, kemajuan tidak diperoleh dengan cara
menyamakan antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi dengan cara menempati
pos-pos dan tugas-tugas masing-masing. Yaitu, suami bekerja mencari nafkah dan
istri mengurus anak di rumah, sehingga sinergi antara suami dan istri akan
tercapai. Hasilnya, bangsa ini akan memiliki penerus yang berkualitas, bukannya
penerus yang amburadul karena kurangnya kasih sayang lantaran orang tuanya
sama-sama sibuk mengejar materi.
Wallahu a’lam.
Ubaidillah
al-Akhro/Aktivis Kajian Tafsir-Hadis
[2] Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberlisme (2011),
Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung. Hlm. 167
[3] Ibid, Hlm. 173
[8] Dr. Musthafa as-Siba’i. (1999). Al-Mar’ah bainal-Islâm wal-Qânûn.
Riyadh: Maktabah al-Warraq. Hlm. 25
[9] Muhammad Thahir bin Muhammad bin Asyur. (2000). At-Tahrir wat-Tanwir.
Beirut: Muassisatut-Tarikh al-arabi. II/574
[10] Dr. Musthafa as-Siba’i. (1999). Al-Mar’ah bainal-Islâm wal-Qânûn.
Riyadh: Maktabah al-Warraq. Hlm. 169
Tidak ada komentar