Keluarga, Amanah yang Harus Dijaga
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ...الاية
“Wahai orang-orang yang beriman, Jagalah diri kalian dan juga keluarga kalian dari api neraka . . .” (QS. At-Tahrim {66}: 06)
Prolog
Memiliki keluarga yang harmonis
pastinya merupakan keinginan setiap orang. Namun, tidak semua orang mampu
membina keluarga dengan baik. Banyak orang justru menelantarkan keluarganya,
terutama dalam urusan agama.
Mereka lebih suka mengirimkan anaknya ke sekolah formal
dibandingkan ke pesantren; istri mereka juga dibiarkan keluar rumah dengan
menampilkan aurat, dan masih banyak lagi. Padahal, keluarga merupakan amanah
dari Allah yang harus dijaga. Baik dan buruknya keluarga tergantung sang kepala
keluarga. Bila kepala keluarga mampu membina keluarganya dengan baik, tentu
keluarganya akan menjadi keluarga yang baik. Pertanyaannya sekarang, bagaimana
cara membina keluarga yang baik? Bagaimana pula cara menjaga mereka? Ayat di atas
akan menjelaskan jawabannya kepada kita.
Interpretasi
Ayat
Melalui ayat di atas, Allah
memerintahkan kita agar menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Tentunya,
yang mendapat perintah tersebut adalah para kepala keluarga, karena merekalah
yang bertanggung jawab dalam menjaga dan mengarahkan anggota keluarganya menuju
jalan yang lurus.
Mengenai cara menjaganya, penafsiran
ulama terhadap ayat di atas menjelaskan bahwa cara menjaga diri dari api neraka
adalah, dengan mengerjakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya.
Sedangkan untuk menjaga keluarga adalah dengan memberikan nasihat dan mendidik
mereka secara islami.[1] Ada juga yang menafsiri
menjaga keluarga itu dengan memerintahkan mereka mengerjakan perbuatan baik dan
menjauhi perbuatan buruk.[2]
Tentunya, mendidik secara islami adalah
menjaga agama mereka, mengingatkan ketika ada kewajiban-kewajiban yang
dilanggar, atau larangan-larangan yang dikerjakan. Mengajari mereka akhlak
nabawi, dan budi pekerti mulia lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Semoga
Allah merahmati laki-laki yang bekata kepada keluarganya, “Wahai keluargaku,
jagalah shalat, puasa dan shalat kalian. Juga orang-rang miskin, anak yatim,
dan tetangga kalian.” Semoga Allah mengumpulkan mereka dengannya (sang
laki-laki).”[3] Juga
diriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Umar bertanya kepada
Rasulullah, “Kami tahu cara menjaga diri kami. Lantas, bagaimana cara kami menjaga
keluarga kami?” Rasulullah menjawab, “Mencegah mereka dari apa yang Allah
larang dan memerintahkan mereka kepada apa yang Allah perintahkan. Maka hal itu
akan menjadi penghalang antara mereka dan api neraka.”[4]
Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini, wajib bagi suami
mengajari kewajiban-kewajiban Islam kepada anak dan istrinya, seperti shalat,
puasa, wudu, zakat, dan hukum fardlu ain lainnya.[5] Bila sang suami tidak mampu
untuk mengajari keluarganya maka wajib baginya untuk mencarikan guru atau
mengirim mereka untuk berguru. Barangsiapa melalaikan hal ini, ia akan mendapat
siksa neraka sebagaimana dalam lanjutan ayat di atas. Bahkan, diriwayatkan
bahwa orang yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah seorang kepala
keluarga yang membiarkan keluarganya berada dalam kebodohan.[6]
Realita di Masyarakat
Setelah kita cermati penjelasan di atas, kita bisa
melihat pada keadaan masyarakat saat ini. Betapa banyak para ayah yang tidak
peduli pada agama anak dan istrinya, yang diprioritaskan hanyalah masalah
dunia. Tidak peduli apakah sang anak shalat atau tidak. Tak peduli apakah sang
istri menutup aurat atau tidak. Sang ayah tidak mampu mengajari sang putra, tapi
enggan mengirimnya ke lembaga pendidikan yang memang basic-nya
pendidikan agama.
Betapa banyak anak muda yang terjerat kasus narkoba,
pergaulan bebas, miras, dan lain sebagainya dikarenakan kurangnya kepedulian
keluarga. Bila sudah demikian, tidak mungkin keluarga tersebut bisa disebut
keluarga yang harmonis. Apalagi keluarga yang agamis.
Padahal, keluarga merupakan tanggungan amanah dari Allah.
Rasulullah swt bersabda, “Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggung jawaban mengenai mereka yang dipimpin. Seorang Imam adalah
pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban mengenai rakyatnya. Begitu pula
seorang laki-laki adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban
mengenai keluarganya.”[7]
Epilog
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa keluarga
merupakan amanah yang sangat berat, yang Allah bebankan kepada para suami. Baik
tidaknya anggota keluarga tergantung dari arahan pimpinan keluarga. Bila
diibaratkan, keluarga tak ubahnya sebuah bahtera dengan suami sebagai nakhoda.
Akan dibawa kemana bahtera tersebut, tergantung dari sang nakhoda.
Tentu untuk menjadi pemimpin yang baik, yang sesuai
dengan koridor syariah, seorang suami harus memiliki basic yang mapan
dalam masalah agama, karena, bagaimana akan mengantarkan orang lain pada jalan
yang lurus, bila yang membawa sendiri masih belum tahu jalan yang lurus
tersebut seperti apa. Wallahu A’lam.
Ubaidillah Al-Akhro SA/Aktivis Kajian Tafir-Hadis
[1] Syihabudin
Mahmud Ibn Abdillah al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 14/351, Cet. Darul Kutub
al-Ilmiyah 1415 H.
[3]Ibid.
Lihat juga Abu al-Qasim Mahmud bin Amr al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, 4/568,
Versi Maktabah Syamilah
[4] Syihab al-Din
Mahmud Ibn Abdillah al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 14/351, Cet. Darul Kutub
al-Ilmiyah 1415 H
[5] Ibid,
Hlm. 352. Lihat juga, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, 18/196
[6] Juga
Abu al-Qasim Mahmud bin Amr al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, 4/568, Versi
Maktabah Syamilah.
[7] Al-Imam Abu
Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, 1/216, Cet. Darul
Fikr 1401 H-1981 M.
Tidak ada komentar