Header Ads

  • Teranyar

    Inilah Adab Mencintai Baginda Nabi Muhammad


    Inilah Adab Mencintainya Baginda Nabi Muhammad

    Bershalawat kepada baginda Nabi merupakan keharusan bagi kita umatnya. Karena selain dengan mengikuti jejak langkahnya, salah satu bukti cinta kita adalah memperbanyak shalawat kepadanya. Sebagaimana Sabda Nabi yang artinya, “Orang yang paling berhak mendapatkan syafaatku di hari kiamat adalah meraka yang paling banyak bershalawat kepadaku.”[1]

    Adapun mengenai kewajiban bershalawat kepada Nabi, Ulama masih bersellisih pendapat. Ada yang menyatakan wajib dalam seumur hidup untuk bershalawat satu kali. Ada pula yang menyatakan wajib bershalawat setiap kali nama Nabi Muhammad disebut.[2] Terlepas dari itu semua, bershalawat kepada Nabi merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad.

    Namun, banyak orang melakukan penyimpangan dalam bershalawat. Shalawat yang tujuannya untuk menumbuhkan cinta kepada Sang Baginda, malah dijadikan sebagai sarana hiburan. Mereka bershalawat seraya berteriak-teriak dan berjoget ria. Melupakan akhlak dan adab yang selayaknya dijunjung tinggi. Bahkan ada aliran musik Black Metal yang menjadikan shalawat sebagai lirik lagu mereka. Dan tentunya, sebagaimana lazimnya musik metal, mereka menyanyikannya dengan berteriak-teriak.

    Oleh karenanya, kami ingin sedikit menjelaskan tentang adab dan etika ketika sedang bershalawat melalui sudut pandang tafsir. Untuk itu, kami akan mengulas sekelumit tentang ayat yang menjelaskan etika ketika bersama Nabi.
    Berkenaan dengan etika ketika sedang bersama Nabi, Allah berfirman dalam surat al-Hujurat:

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2)} [الحجرات: 2]

    “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian meninggikan suara kalian di atas suara Nabi. Dan janganlah berbicara keras dengan Nabi seperti ketika kalian berbicara satu sama lain. Karena yang sedemikian itu dapat menghapus pahala amal kalian sedangkan kalian tidak sadar.” {QS. Al-Hujurat (49): 2}

    Ayat ini turun ketika ada utusan dari Bani Tamim sowan kepada Rasulullah. Saat itu Rasulullah sedang besama Sayyidina Abu Bakar dan Umar. Ketika utusan Bani Tamim ini masuk, Sayyidina Abu Bakar berkata, “Pemimpin mereka adalah al-Qa’qa’ bin Ma’bad bin Zurarah.” Sayyidina Umar menanggapi, “Bukan, pemimpin mereka adalah al-Aqra’ bin Habis.”

    Mendengar komentar ini, Sayyidina Abu Bakar marah dan berkata kepada Sayyidina Umar, “Engkau hanya ingin menentangku.” “Aku tidak bermaksud demikian,” jawab Sayyidina Umar. Akhirnya terjadilah perdebatan hingga suara beliau berdua meninggi. Padahal di tempat tersebut ada Rasulullah. Turunlah ayat di atas.[3]

    Dalam ayat ini, Allah melarang kita semua untuk meninggikan suara ketika kita sedang bersama Nabi dan tidak boleh berbicara kepada Nabi dengan suara keras sebagaimana halnya ketika kita berbicara dengan selain Nabi.[4]

    Yang dimaksud meninggikan suara di sini bukanlah meninggikan suara dengan tujuan meremehkan atau pun menghina, karena yang demikian merupakan kekufuran. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah meninggikan suara yang tidak pantas dilakukan di hadapan orang-orang besar.[5]

    Selain itu, ayat ini juga mengandung perintah untuk memuliakan dan mengagungkan Rasulullah.[6] Yaitu dengan cara menjaga tingkah laku ketika sedang bersama Nabi. Baik itu dengan cara melirihkan suara sebagaimana telah dijelaskan, ataupun dengan menjaga tindak tanduk kita.

    Pertanyaannya sekarang, apakah hal ini masih berlaku setelah Nabi wafat? Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi menyatakan bahwa kesucian Nabi pada saat beliau hidup tetap berlaku setelah beliau wafat. Artinya, ketika ada pembacaan hadis Rasulullah (sabda Nabi) maka kita tidak boleh meninggikan suara ataupun berpaling dan tidak memperhatikan sebagaimana ketika Nabi mensabdakannya ketika beliau masih hidup.[7]

    Ayat ini juga berisikan hukum bahwa kita tidak boleh memanggil Nabi Muhammad dengan panggilan Ya Muhammad, akan tetapi menggunakan panggilan Ya Nabiallah atau Ya Rasulallah.[8] Yang sedemikian ini untuk memuliakan beliau.

    Dari keterangan di atas, bila kita gabungkan akan merumuskan hukum bahwa tidak boleh memanggil atau menyebut Nabi Muhammad dengan suara keras. Kita juga tidak boleh berpaling ketika dibacakan kalam Nabi. Hal ini bertujuan untuk mengangungkan dan memuliakan Nabi Muhammad.

    Sampai di sini, kita bisa tahu bahwa penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyrakat tidak dapat dibenarkan. Bershalawat dengan berteriak-teriak apalagi dengan diiringi musik black metal mau dilihat dari sisi manapun tidak mengandung unsur memuliakan terhadap Nabi. Apalagi ditambah dengan joget dan bercampurnya laki-laki dan perempuan.

    Konsekuensi bila kita tetap melakukan hal tersebut adalah apa yang kita kerjakan menjadi sia-sia. Pahala dari shalawat yang kita baca akan dihapus ketika kita tidak menjaga adab. Sebagaimana dijelaskan di akhir ayat, “Karena yang sedemikian itu dapat menghapus pahala amal kalian sedangkan kalian tidak sadar.”  Tentu kita tak ingin hal ini terjadi; mengerjakan sesuatu tanpa mendapatkan hasil apa-apa. Sungguh suatu kerugian yang nyata.

    Dan lagi, ketika menghadap salah satu pejabat saja kita menghadapinya dengan sopan dan penuh tata krama, apakah kita akan meninggalkan tata krama tersebut ketika sedang menghadap kepada manusia terbaik di seluruh alam semesta; Baginda Rasulullah Muhammad al-Mushtafa? Wallahu a’lam.


    Ubaid al-Akhro/Aktivis Tafsir-Hadis



    [1] Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi. Cet: Darul Kutub Ilmiyah, Beirut. II/496
    [2] Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân. Cet: Daru Alamil-Kitab, Riyadh. XIV/232
    [3] Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih. Cet: Darusy-Syu’ab, Kairo (1987). V/213
    [4] Muhammad bin Asyur, at-Tahrîr wat-Tanwîr. Versi maktabah syamilah. XIII/501
    [5] Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân. Cet: Daru Alamil-Kitab, Riyadh. XVI/307
    [6] Ibid
    [7] Dr. Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir. Cet: Darul-Kutub al-Ilmiah, Beirut (2001). XXVI/219
    [8] Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân. Cet: Daru Alamil-Kitab, Riyadh. XVI/306

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728